Written By JatengGayeng on Sabtu, 31 Maret 2012 | 10.45
Alamat: Desa Kanigoro, Saptosari, Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia
Pantai Ngobaran ternyata kaya pesona budaya; mulai dari pura, masjid yang menghadap ke selatan, hingga potensi kuliner terpendam yaitu landak laut goreng.
Pantai Ngobaran, dari Pura hingga Landak Laut Goreng
Datang ke Pantai Ngrenehan dan menikmati ikan bakarnya belum lengkap kalau tak mampir di pantai sebelahnya, Ngobaran. Letak pantai yang bertebing tinggi ini hanya kurang lebih dua kilometer dari Pantai Ngrenehan. Tak jauh bukan? Penduduk Pantai Ngrenehan saja sering membicarakan dan mampir ke Pantai Ngobaran, mengapa anda tidak?
Ngobaran merupakan pantai yang cukup eksotik. Kalau air surut, anda bisa melihat hamparan alga (rumput laut) baik yang berwarna hijau maupun coklat. Jika dilihat dari atas, hamparan alga yang tumbuh di sela-sela karang tampak seperti sawah di wilayah padat penduduk. Puluhan jenis binatang laut juga terdapat di sela-sela karang, mulai dari landak laut, bintang laut, hingga golongan kerang-kerangan.
Tapi yang tak terdapat di pantai lain adalah pesona budayanya, mulai dari bangunan hingga makanan penduduk setempat. Satu diantaranya yang menarik adalah adanya tempat ibadah untuk empat agama atau kepercayaan berdiri berdekatan. Apakah itu bentuk multikulturalisme? Siapa tahu.
Bangunan yang paling jelas terlihat adalah tempat ibadah semacam pura dengan patung-patung dewa berwarna putih. Tempat peribadatan itu didirikan tahun 2003 untuk memperingati kehadiran Brawijaya V, salah satu keturunan raja Majapahit, di Ngobaran. Orang yang beribadah di tempat ini adalah penganut kepercayaan Kejawan (bukan Kejawen lho). Nama "Kejawan" menurut cerita berasal dari nama salah satu putra Brawijaya V, yaitu Bondhan Kejawan. Pembangun tempat peribadatan ini mengaku sebagai keturunan Brawijaya V dan menunjuk salah satu warga untuk menjaga tempat ini.
Berjalan ke arah kiri dari tempat peribadatan tersebut, Anda akan menemui sebuah Joglo yang digunakan untuk tempat peribadatan pengikut Kejawen.
Bila terus menyusuri jalan setapak yang ada di depan Joglo, anda akan menemukan sebuah kotak batu yang ditumbuhi tanaman kering. Tanaman tersebut dipagari dengan kayu berwarna abu-abu. Titik dimana ranting kering ini tumbuh konon merupakan tempat Brawijaya V berpura-pura membakar diri. Langkah itu ditempuhnya karena Brawijaya V tidak mau berperang melawan anaknya sendiri, Raden Patah (Raja I Demak).
Kebenaran cerita tentang Brawijaya V ini kini banyak diragukan oleh banyak sejarahwan. Sebabnya, jika memang Raden Patah menyerang Brawijaya V maka akan memberi kesan seolah-olah Islam disebarkan dengan cara kekerasan. Banyak sejarahwan beranggapan bahwa bukti sejarah yang ada tak cukup kuat untuk menyatakan bahwa Raden Patah melakukan penyerangan. Selengkapnya bagaimana, mungkin Anda bisa mencari sendiri.
Beberapa meter dari kotak tempat ranting kering tumbuh terdapat pura untuk tempat peribadatan umat Hindu. Tak jelas kapan berdirinya pura tersebut.
Di bagian depan tempat ranting tumbuh terdapat sebuah masjid berukuran kurang lebih 3x4 meter. Bangunan masjid cukup sederhana karena lantainya pun berupa pasir. Seolah menyatu dengan pantainya. Uniknya, jika kebanyakan masjid di Indonesia menghadap ke Barat, masjid ini menghadap ke selatan. Bagian depan tempat imam memimpin sholat terbuka sehingga langsung dapat melihat lautan, tak banyak yang tahu tentang alasannya. Bahkan, penduduk setempat sendiri heran karena yang membangun pun salah satu Kyai terkenal pengikut Nahdatul Ulama yang tinggal di Panggang, Gunung Kidul. Sebagai petunjuk bagi yang akan sholat, penduduk setempat memberi tanda di tembok dengan pensil merah tentang arah kiblat yang sebenarnya.
Setelah puas terheran-heran dengan situs peribadatannya, Anda bisa berjalan turun ke pantai. Kalau datang pagi, maka pengunjung akan menjumpai masyarakat pantai tengah memanen rumput laut untuk dijual kepada tengkulak. Mereka biasanya menjual rumput laut dengan harga Rp 1.000 hingga Rp 1.500 per kilo. Hasilnya lumayan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Namun, kalau datang sore, biasanya Anda akan menjumpai warga tengah mencari landak laut untuk dijadikan makanan malam harinya. Untuk bisa dimakan, landak laut dikepras dulu durinya hingga rata dan kemudian dipecah menggunakan sabit. Daging yang ada di bagian dalam landak laut kemudioan dicongkel. Biasanya warga mencari landak hanya berbekal ember, saringan kelapa, sabit, dan topi kepala untuk menghindari panas.
Landak laut yang didapat biasanya diberi bumbu berupa garam dan cabe kemudian digoreng. Menurut penduduk, daging landak laut cukup kenyal dan lezat. Sayangnya, tak banyak penduduk yang menjual makanan yang eksotik itu. Tapi kalau mau memesan, coba saja meminta pada salah satu penduduk untuk memasakkan. Siapa tahu, anda juga bisa berbagi ide tentang bagaimana memasak landak laut sehingga warga pantai Ngobaran bisa memakai pengetahuan itu untuk berbisnis meningkatkan taraf kehidupannya.
Alamat: Parangkusumo, Parangtritis, Bantul, Yogyakarta, Indonesia
Pantai Parangkusumo mengajak anda merasakan pengalaman spiritual tak terlupakan, melawati Batu Cinta sekaligus mengenang pertemuan Panembahan Senopati dengan Ratu Kidul.
Parangkusumo, Pantai Cinta di Yogyakarta
Nuansa sakral akan segera terasa sesaat setelah memasuki kompleks Pantai Parangkusumo, pantai yang terletak 30 km dari pusat kota Yogyakarta dan diyakini sebagai pintu gerbang masuk ke istana laut selatan. Wangi kembang setaman akan segera tercium ketika melewati deretan penjual bunga yang dengan mudah dijumpai, berpadu dengan wangi kemenyan yang dibakar sebagai salah satu bahan sesajen. Sebuah nuansa yang jarang ditemui di pantai lain.
Kesakralan semakin terasa ketika anda melihat taburan kembang setaman dan serangkaian sesajen di Batu Cinta yang terletak di dalam Puri Cepuri, tempat Panembahan senopati bertemu dengan Ratu Kidul dan membuat perjanjian. Senopati kala itu duduk bertapa di batu yang berukuran lebih besar di sebelah utara sementara Ratu Kidul menghampiri dan duduk di batu yang lebih kecil di sebelah selatan.
Pertemuan Senopati dengan Ratu Kidul itu mempunyai rangkaian cerita yang unik dan berpengaruh terhadap hubungan Kraton Yogyakarta dengan Kraton Bale Sokodhomas yang dikuasai Ratu Kidul. Semuanya bermula ketika Senopati melakukan tapa ngeli untuk menyempurnakan kesaktian. Sampai di saat tertentu pertapaan, tiba-tiba di pantai terjadi badai, pohon-pohon di tepian tercabut akarnya, air laut mendidih dan ikan-ikan terlempar ke daratan.
Kejadian itu membuat Ratu Kidul menampakkan diri ke permukaan lautan, menemui Senopati dan akhirnya jatuh cinta. Senopati mengungkapkan keinginannya agar dapat memerintah Mataram dan memohon bantuan Ratu Kidul. Sang Ratu akhirnya menyanggupi permintaan itu dengan syarat Senopati dan seluruh keturunannya mau menjadi suami Ratu Kidul. Senopati akhirnya setuju dengan syarat perkawinan itu tidak menghasilkan anak.
Perjanjian itu membuat Kraton Yogyakarta sebagai salah satu pecahan Mataram memiliki hubungan erat dengan istana laut selatan. Buktinya adalah dilaksanakannya upacara labuhan alit setiap tahun sebagai bentuk persembahan. Salah satu bagian dari prosesi labuhan, yaitu penguburan potongan kuku dan rambut serta pakaian Sultan berlangsung dalam areal Puri Cepuri. Tapa Senopati yang membuahkan hasil juga membuat banyak orang percaya bahwa segala jenis permintaan akan terkabul bila mau memanjatkan permohonan di dekat Batu Cinta. Tak heran, ratusan orang tak terbatas kelas dan agama kerap mendatangi kompleks ini pada hari-hari yang dianggap sakral. Ziarah ke Batu Cinta diyakini juga dapat membantu melepaskan beban berat yang ada pada diri seseorang dan menumbuhkan kembali semangat hidup.
Selain melawati Batu Cinta dan melihat prosesi labuhan, anda juga bisa berkeliling pantai dengan naik kereta kuda. Anda akan diantar menuju setiap sudut Parangkusumo, dari sisi timur ke barat. Sambil naik kereta kuda, anda dapat menikmati pemandangan hempasan ombak besar dan desau angin yang semilir. Ongkos sewa kereta kuda dan kusir sendiri tak terlampau mahal, hanya Rp 20.000,00 untuk sekali keliling.
Bila lelah, Parangkusumo memiliki sejumlah warung yang menjajakan makanan. Banyaknya jumlah peziarah membuat wilayah pantai ini hampir selalu ramai dikunjungi, bahkan hingga malam hari. Cukup banyak pula para peziarah yang menginap di pantai ini untuk memanjatkan doa. Bagi anda yang ingin merasakan pengalaman spiritual di Parangkusumo bisa bergabung dengan para peziarah itu untuk bersama berdoa.
Pantai Depok menyajikan hidangan ikan segar dan sejumlah hasil tangkapan laut lainnya dalam nuansa khas restaurant pesisir. Tak jauh dari pantai ini, anda bisa menikmati panorama gumuk pasir satu-satunya di kawasan Asia Tenggara.
Pantai Depok, Menikmati Hidangan Ikan Laut Segar
Di antara pantai-pantai lain di wilayah Bantul, Pantai Depok-lah yang tampak paling dirancang menjadi pusat wisata kuliner menikmati sea food. Di pantai ini, tersedia sejumlah warung makan tradisional yang menjajakan sea food, berderet tak jauh dari bibir pantai. Beberapa warung makan bahkan sengaja dirancang menghadap ke selatan, jadi sambil menikmati hidangan laut, anda bisa melihat pemandangan laut lepas dengan ombaknya yang besar.
Nuansa khas warung makan pesisir dan aktivitas nelayan Pantai Depok telah berkembang sejak 10 tahun lalu. Menurut cerita, sekitar tahun 1997, beberapa nelayan yang berasal dari Cilacap menemukan tempat pendaratan yang memadai di Pantai Depok. Para nelayan itu membawa hasil tangkapan yang cukup banyak sehingga menggugah warga Pantai Depok yang umumnya berprofesi sebagai petani lahan pasir untuk ikut menangkap ikan.
Sejumlah warga pantai pun mulai menjadi "tekong", istilah lokal untuk menyebut pencari ikan. Para tekong melaut dengan bermodal perahu bermotor yang dilengkapi cadik. Kegiatan menangkap ikan dilakukan hampir sepanjang tahun, kecuali pada hari-hari tertentu yang dianggap keramat, yaitu Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Di luar musim paceklik ikan yang berlangsung antara bulan Juni - September, jumlah hasil tangkapan cukup lumayan.
Karena jumlah tangkapan yang cukup besar, maka warga setempat pun membuka Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang kemudian dilengkapi dengan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) bernama Mina Bahari 45. Tempat pelelangan ikan di pantai ini bahkan menerima setoran ikan yang ditangkap oleh nelayan di pantai-pantai lain. Tempat pelelangan ini ramai dikunjungi oleh para wisatawan.
Seiring makin banyaknya pengunjung pantai yang berjarak 1,5 kilometer dari Parangtritis ini, maka dibukalah warung makan-warung makan sea food. Umumnya, warung makan yang berdiri di pantai ini menawarkan nuansa tradisional. Bangunan warung makan tampak sederhana dengan atap limasan, sementara tempat duduk dirancang lesehan menggunakan tikar dan meja-meja kecil. Meski sederhana, warung makan tampak bersih dan nyaman.
Beragam hidangan sea food bisa dicicipi. Hidangan ikan yang paling populer dan murah adalah ikan cakalang, seharga Rp 8.000,00 per kilogram, setara dengan 5 - 6 ekor ikan. Jenis ikan lain yang bisa dinikmati adalah kakap putih dan kakap merah dengan kisaran harga Rp 17.000,00 - Rp 25.000,00 per kilogram. Jenis ikan yang harganya cukup mahal adalah bawal, seharga Rp 27.000,00 - Rp 60.000 per kilogram. Selain ikan, ada juga kepiting, udang dan cumi-cumi.
Hidangan sea food biasanya dimasak dengan dibakar atau digoreng. Jika ingin memesannya, anda bisa menuju tempat pelelangan ikan untuk memesan ikan atau tangkapan laut yang lain. Setelah itu, anda biasanya akan diantar menuju salah satu warung makan yang ada di pantai itu oleh salah seorang warga. Tak perlu khawatir akan harga mahal, setengah kilo ikan cakalang plus minuman, hanya dijual Rp 22.000,00 termasuk jasa memasak.
Puas menikmati hidangan sea food, anda bisa keluar pantai dan berbelok ke kanan menuju arah Parangkusumo dan Parangtritis. Di sana, anda akan menjumpai pemandangan alam yang langka dan menakjubkan, yaitu gumuk pasir. Gumuk pasir yang ada di pantai ini adalah satu-satunya di kawasan Asia Tenggara dan merupakan suatu fenomena yang jarang dijumpai di wilayah tropis. Di sini, anda bisa menikmati hamparan pasir luas, bagai di sebuah gurun.
Gumuk pasir yang terdapat di dekat Pantai Depok terbentuk selama ribuan tahun lewat proses yang cukup unik. Dahulu, ada beragam tipe yang terbentuk, yaitu barchan dune, comb dune, parabolic dune dan longitudinal dune. Saat ini hanya beberapa saja yang tedapat, yaitu barchan dan longitudinal. Angin laut dan bukit terjal di sebelah timur menerbangkan pasir hasil aktivitas Merapi yang terendap di dekat sungai menuju daratan, membentuk bukit pasir atau gumuk.
Untuk menikmati hidangan laut sekaligus pemandangan gumuk pasir ini, anda bisa melalui rute yang sama dengan Parangtritis dari Yogyakarta. Setelah sampai di dekat pos retribusi Parangtritis, anda bisa berbelok ke kanan menuju Pantai Depok. Biaya masuk menuju Pantai Depok hanya Rp 4.000,00 untuk dua orang dan satu motor. Bila membawa mobil, anda dikenai biaya Rp 5.000,00 plus biaya perorangan.
Alamat: Desa Sidoharjo, Tepus, Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia
Bukan cuma ombak saja yang bisa dinikmati ketika ke pantai, tetapi juga bukti sejarah dan berkah yang ada; misalnya gua karang yang menjadi tempat perkelahian asu (anjing) dan landak.
Pantai Sundak, Perkelahian Asu dan Landak yang Menuai Berkah
Pantai Sundak tak hanya memiliki pemandangan alam yang mengasyikkan, tetapi juga menyimpan cerita. Nama Sundak ternyata mengalami evolusi yang bukti-buktinya bisa dilacak secara geologis.
Agar tahu bagaimana evolusinya, maka pengunjung mesti tahu dulu kondisi pinggiran Pantai Sundak dulu dan kini. Di bagian pinggir barat pantai terdapat masjid dan ruang kosong yang sekarang dimanfaatkan sebagai tempat parkir. Sementara di sebelah timur terdapat gua yang terbentuk dari batu karang berketinggian kurang lebih 12 meter. Memasuki gua, akan dijumpai sumur alami tempat penduduk mendapatkan air tawar.
Wilayah yang diuraikan di atas sebelum tahun 1930 masih terendam lautan. Konon, air sampai ke wilayah yang kini dibangun masjid, batu karang yang membentuk gua pun masih terendam air. Seiring proses geologi di pantai selatan, permukaan laut menyusut dan air lebih menjorok ke laut. Batu karang dan wilayah di dekat masjid akhirnya menjadi daratan baru yang kemudian dimanfaatkan penduduk pantai untuk aktivitas ekonominya hingga saat ini.
Ada fenomena alam unik akibat aktivitas tersebut yang akhirnya menjadi titik tolak penamaan pantai ini. Jika musim hujan tiba, banyak air dari daratan yang mengalir menuju lautan. Akibatnya, dataran di sebelah timur pantai membelah sehingga membentuk bentukan seperti sungai. Air yang mengalir seperti mbedah (membelah) pasir. Bila kemarau datang, belahan itu menghilang dan seiring dengannya air laut datang membawa pasir. Fenomena alam inilah yang menyebabkan nama pantai menjadi Wedibedah (pasir yang terbelah).
Perubahan nama berlangsung beberapa puluh tahun kemudian. Sekitar tahun 1976, ada sebuah kejadian menarik. Suatu siang, seekor anjing sedang berlarian di daerah pantai dan memasuki gua karang bertemu dengan seekor landak laut. Karena lapar, si anjing bermaksud memakan landak laut itu tetapi si landak menghindar. Terjadilah sebuah perkelahian yang akhirnya dimenangkan si anjing dengan berhasil memakan setengah tubuh landak laut dan keluar gua dengan rasa bangga. Perbuatan si anjing diketahui pemiliknya, bernama Arjasangku, yang melihat setengah tubuh landak laut di mulut anjing. Mengecek ke dalam gua, ternyata pemilik menemukan setengah tubuh landak laut yang tersisa. Nah, sejak itu, nama Wedibedah berubah menjadi Sundak, singkatan dari asu (anjing) dan landak.
Tak dinyana, perkelahian itu membawa berkah bagi penduduk setempat. Setelah selama puluhan tahun kekurangan air, akhirnya penduduk menemukan mata air. Awalnya, si pemilik anjing heran karena anjingnya keluar gua dengan basah kuyup. Hipotesanya, di gua tersebut terdapat air dan anjingnya sempat tercebur ketika mengejar landak. Setelah mencoba menyelidiki dengan beberapa warga, ternyata perkiraan tersebut benar. Jadilah kini, air dalam gua dimanfaatkan untuk keperluan hidup penduduk. Dari dalam gua, kini dipasang pipa untuk menghubungkan dengan penduduk. Temuan mata air ini mengobati kekecewaan penduduk karena sumur yang dibangun sebelumnya tergenang air laut.
Nah, bila kondisi tahun 1930 saja seperti yang dikatakan di atas, dapat diperkirakan kondisi ratusan tahun sebelumnya. Tentu sangat banyak organisme laut yang memanfaatkan bagian bawah karang yang kini menjadi gua dan wilayah yang kini menjadi daratan. Karenanya, banyak arkeolog percaya bahwa sebagai konsekuensi dari proses geologis yang ada, banyak organisme laut yang tertinggal dan kini tertimbun menjadi fosil. Soal fosil apa yang ditemukan, memang hingga kini belum banyak penelitian yang mengungkapkan.
Selain menawarkan saksi bisu sejarahnya, Sundak juga menawarkan suasana malam yang menyenangkan. Anda bisa menikmati angin malam dan bulan sambil memesan ikan mentah untuk dibakar beramai-ramai bersama teman. Dengan membayar beberapa ribu, Anda dapat membeli kayu untuk bahan bakar. Kalau malas, pesan saja yang matang sehingga siap santap. Yang jelas, tak perlu bingung mencari tempat menginap. Pengunjung bisa tidur di mana saja, mendirikan tenda, atau tidur saja di bangku warung yang kalau malam tak terpakai. Kegelapan tak perlu diributkan, bukankah membosankan jika hidup terus terang benderang?
Kalau mau, berinteraksi dengan penduduk bisa menjadi suatu pencerahan. Anda bisa mengetahui bagaimana penduduk hidup, kebudayaan mereka, dan tentu saja orang baru yang mungkin saja mampu mengubah pandangan hidup anda. Menemui Mbah Tugiman yang biasa berjaga di tempat parkir atau Mbah Arjasangku bisa jadi pilihan. Mereka merupakan salah satu sesepuh di pantai Sundak. Bercakap dengan mereka membuat anda tidak sekedar menyaksikan bukti sejarah tetapi juga mendapat cerita dari orang yang menyaksikan bagaimana sejarah terukir. Datanglah, semua yang di sana sudah menunggu!
Alamat: Jl. Malioboro, Yogyakarta, Indonesia
Berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti karangan bunga, Malioboro menjadi kembang yang pesonanya mampu menarik wisatawan. Tak hanya sarat kisah dan kenangan, Malioboro juga menjadi surga cinderamata di jantung Kota Jogja. MALIOBORO
Menyusuri Jalan Karangan Bunga dan Surga Cinderamata di Jantung Kota Jogja
Matahari bersinar terik saat ribuan orang berdesak-desakan di sepanjang Jalan Malioboro. Mereka tidak hanya berdiri di trotoar namun meluber hingga badan jalan. Suasana begitu gaduh dan riuh. Tawa yang membuncah, jerit klakson mobil, alunan gamelan kaset, hingga teriakan pedagang yang menjajakan makanan dan mainan anak-anak berbaur menjadi satu. Setelah menunggu berjam-jam, akhirnya rombongan kirab yang ditunggu pun muncul. Diawali oleh Bregada Prajurit Lombok Abang, iring-iringan kereta kencana mulai berjalan pelan. Kilatan blitz kamera dan gemuruh tepuk tangan menyambut saat pasangan pengantin lewat. Semua berdesakan ingin menyakasikan pasangan GKR Bendara dan KPH Yudhanegara yang terus melambaikan tangan dan menebarkan senyum ramah.
Itulah pemandangan yang terlihat saat rombongan kirab pawiwahan ageng putri bungsu Sultan Hamengku Buwono X lewat dari Keraton Yogyakarta menuju Bangsal Kepatihan. Ribuan orang berjejalan memenuhi Jalan Malioboro yang membentang dari utara ke selatan. Dalam bahasa Sansekerta, malioboro berarti jalan karangan bunga karena pada zaman dulu ketika Keraton mengadakan acara, jalan sepanjang 1 km ini akan dipenuhi karangan bunga. Meski waktu terus bergulir dan jaman telah berubah, posisi Malioboro sebagai jalan utama tempat dilangsungkannya aneka kirab dan perayaan tidak pernah berubah. Hingga saat ini Malioboro, Benteng Vredeburg, dan Titik Nol masih menjadi tempat dilangsungkannya beragam karnaval mulai dari gelaran Jogja Java Carnival, Pekan Budaya Tionghoa, Festival Kesenian Yogyakarta, Karnaval Malioboro, dan masih banyak lainnya.
Sebelum berubah menjadi jalanan yang ramai, Malioboro hanyalah ruas jalan yang sepi dengan pohon asam tumbuh di kanan dan kirinya. Jalan ini hanya dilewati oleh masyarakat yang hendak ke Keraton atau kompleks kawasan Indische pertama di Jogja seperti Loji Besar (Benteng Vredeburg), Loji Kecil (kawasan di sebelah Gedung Agung), Loji Kebon (Gedung Agung), maupun Loji Setan (Kantor DPRD). Namun keberadaan Pasar Gede atau Pasar Beringharjo di sisi selatan serta adanya permukiman etnis Tionghoa di daerah Ketandan lambat laun mendongkrak perekonomian di kawasan tersebut. Kelompok Tionghoa menjadikan Malioboro sebagai kanal bisnisnya, sehingga kawasan perdagangan yang awalnya berpusat di Beringharjo dan Pecinan akhirnya meluas ke arah utara hingga Stasiun Tugu.
Melihat Malioboro yang berkembang pesat menjadi denyut nadi perdagangan dan pusat belanja, seorang kawan berujar bahwa Malioboro merupakan baby talk dari "mari yok borong". Di Malioboro Anda bisa memborong aneka barang yang diinginkan mulai dari pernik cantik, cinderamata unik, batik klasik, emas dan permata hingga peralatan rumah tangga. Bagi penggemar cinderamata, Malioboro menjadi surga perburuan yang asyik. Berjalan kaki di bahu jalan sambil menawar aneka barang yang dijual oleh pedagang kaki lima akan menjadi pengalaman tersendiri. Aneka cinderamata buatan lokal seperti batik, hiasan rotan, perak, kerajinan bambu, wayang kulit, blangkon, miniatur kendaraan tradisional, asesoris, hingga gantungan kunci semua bisa ditemukan dengan mudah. Jika pandai menawar, barang-barang tersebut bisa dibawa pulang dengan harga yang terbilang murah.
Selain menjadi pusat perdagangan, jalan yang merupakan bagian dari sumbu imajiner yang menghubungkan Pantai Parangtritis, Panggung Krapyak, Kraton Yogyakarta, Tugu, dan Gunung Merapi ini pernah menjadi sarang serta panggung pertunjukan para seniman Malioboro pimpinan Umbu Landu Paranggi. Dari mereka pulalah budaya duduk lesehan di trotoar dipopulerkan yang akhirnya mengakar dan sangat identik dengan Malioboro. Menikmati makan malam yang romantis di warung lesehan sembari mendengarkan pengamen jalanan mendendangkan lagu "Yogyakarta" milik Kla Project akan menjadi pengalaman yang sangat membekas di hati.
Malioboro adalah rangkaian sejarah, kisah, dan kenangan yang saling berkelindan di tiap benak orang yang pernah menyambanginya. Pesona jalan ini tak pernah pudar oleh jaman. Eksotisme Malioboro terus berpendar hingga kini dan menginspirasi banyak orang, serta memaksa mereka untuk terus kembali ke Yogyakarta. Seperti kalimat awal yang ada dalam sajak Melodia karya Umbu Landu Paranggi "Cintalah yang membuat diriku betah sesekali bertahan", kenangan dan kecintaan banyak orang terhadap Malioboro lah yang membuat ruas jalan ini terus bertahan hingga kini.
Written By JatengGayeng on Senin, 26 Maret 2012 | 11.46
koclokpariwisata.blogspot.com, Batu Kuda adalah nama sebuah obyek wisata yang berada di puncak Gunung Manglayang, Kabupaten Bandung. Pemberian nama itu ada kaitannya dengan batu yang bentuknya menyerupai seekor kuda. Kuncen yang bertugas di tempat itu mengatakan bahwa batu yang menyerupai kuda itu adalah kuda yang ditunggangi oleh Prabu Layang Kusuma beserta permaisurinya (Prabu Layang Sari). Menurut penuturannya, konon di zaman dahulu ada seorang raja dari salah satu kerajaan di Jawa Barat. Namanya Prabu Layang Kusuma. Suatu hari Sang Prabu bersama permaisurinya (Prabu Layang Sari), dengan berkuda, lewat Gunung Manglayang. Namun, ketika sampai di puncak tiba-tiba kuda yang ditungganginya terperosok ke dalam lumpur. Begitu dalamnya kuda itu terperosok hingga hanya separuh badannya yang kelihatan. Secara tiba-tiba pula kuda itu berubah menjadi batu. Oleh karena kuda yang ditunggangi menjadi batu, mau tidak mau Sang Prabu beserta Sang Permaisuri dan para pengawalnya menghentikan perjalanannya. Kemudian, Sang Prabu melihat-lihat keadaan sekelilingnya. Hasilnya adalah bahwa tempat itu sangat cocok untuk bertapa. Sehubungan dengan itu, Sang Prabu memutuskan untuk mendirikan tempat peristirahatan yang letaknya tidak jauh dari tempat perpelosoknya kuda. Di tempat peristirahatan itulah Sang Prabu bertapa dan tidak meneruskan perjalanannya hingga akhir hayatnya. Demikian juga Sang Permaisuri dan para pengawalnya.
Keadaan alam yang indah, nyaman, dan berhawa sejuk ditambah legenda yang ada, pada gilirannya membuat daerah di sekitar Batu Kuda (sesungguhnya tidak hanya semata karena ada Batu Kuda melainkan juga ada batu berbentuk gunung yang diberi nama Batu Gunung yang tingginya mencapai 15 meter) dan makam Sang Raja, banyak dikunjungi orang dengan tujuan yang berbeda-beda. Ada yang hanya sekedar menikmati keindahan alamnya yang penuh dengan pohon cemara; ada yang hanya berziarah; dan ada pula yang berziarah sambil menikmati keindahan alam. Para pengunjung yang tujuannya hanya sekedar rekreasi (menikmati keindahan alamnya) biasanya datang pada hari-hari libur (Sabtu dan Minggu). Sementara, para pengunjung yang tujuannya berziarah dan atau berziarah sambil menikmati keindahan alamnya tidak terbatas pada hari-hari libur.
Para peziarah meyakini bahwa Batu Kuda dan Batu Gunung yang mencengangkan serta makam Sang Raja berkeramat, sehingga mempunyai kekuatan gaib. Oleh karena itu, dibalik berziarah punya keinginan-keinginan tertentu, seperti ingin cepat memperoleh jodoh, usaha lancar, dan naik pangkat (memperoleh jabatan). Untuk itu, sebelumnya mereka mesti berhubungan dengan Sang Kuncen karena ada pantangan-pantangan yang harus diperhatikan. Malahan, seringkali para peziarah minta bantuan atau memanfaatkan jasa Sang Kuncen untuk mencapai apa yang diinginkan karena Sang Kuncen sangat menguasai prosesi upacara perziarahan beserta perlengkapannya. Jadi, para peziarah mesti menyediakan sesaji yang berupa: telor, gula, kopi, rujak asem, rujak kelapa, cerutu, kelapa muda, sirih, gambir, dan kapur pinangan. Selain itu, uang (bergantung kemampuan dan keihklasan peziarah) sebagai tanda terima kasih. Berkenaan dengan ziarah ini ada pantangan-pantangan yang mesti dipatuhi, yakni: (1) Dilarang berziarah pada Senin dan Kamis; (2) Tidak boleh berbuat sembarangan seperti: menaiki, mencoret-coret, memotret Batu Kuda, Batu Gunung, dan pemakaman; dan (3) Tidak boleh berbicara sembarangan di sekitar areal Batu Kuda. Pantangan-pantangan itu jika dilanggar dapat menyebabkan si pelanggar mengalami sesuatu yang tidak diinginkan (musibah).
Perilaku nyekar ke makam yang dianggap keramat yang ada Desa Cibiru Wetan terletak di sekitar hutan lindung yang juga merupakan sebuah objek wisata yang bernama "Batu Kuda".
Written By JatengGayeng on Sabtu, 24 Maret 2012 | 00.05
Kawah Putih terletak di daerah Selatan Kota Bandung, berjarak 46 km atau 2,5 jam dari Kota Bandung sampai pintu gerbang menuju lokasi kawah.Daripintu masuk hingga ke kawah jaraknya sekitar 5 km atau bisa ditempuh sekitar 20 menit. Melalui jalan beraspal yang berkelok-kelok dengan pemandangan hutan alam dengan aneka ragam species tanaman. Kawah putih terletak di sebuah gunung yang bernama Gunung Patuha.Dahulu kala,masyarakat menganggap kawah ini kawasan yang angker karena banyak burung mati seketika melewati kawah ini.
Kepercayaan inipun lantas dibantah,ketika pada tahun 1837 seorang ilmuwan Belanda Jerman Dr. Franz Wilhelm Junghun yang juga seorang pengusaha perkebunan Belanda yang mencintai kelestarian alam melakukan penelitian dan menemukan bahwa keangkeran tersebut tidak lain disebabkan oleh adanya semburan lava belerang yang berbau sangat menyengat.Namun saat ditemukannya fakta tersebut masyarakat belum tertarik menjadikan tempat ini sebagai objek wisata. Baru setelah PT Perhutani mengembangkan tahun 1987, kawasan kawah putih dijadikan sebuah objek wisata di Jawa Barat. Air kawah di gunung ini selain warna airnya yang terang dan juga selalu berubah2. Inilah yang pada akhirnya menjadi daya tarik tersendiri. permukaan kawah umumnya berbatu dan berpasir warna putih,
sehingga kawah ini kemudian dikenal sebagai kawah putih. Beberapa peneliti mengatakan bahwa gunung patuha masih aktif, sehingga ditemukan beberapa pancaran kawah yang masih bergejolak. Didekat tempat ini pula ditemukan sebuah goa sedalam 5 meter yang pernah dipakai sebagai tambang belerang. tak heran jika beberapa kawah tiba2 beruap banyak, dan pengunjung didapati terbatuk2 akibat menghirup hawa belerang yang berbau sangat tajam.
Keindahan danau Kawah Putih, memang sangat mempesona dan menakjubkan. Ditambah lagi suhunya yang sejuk banget sepanjang hari (bersuhu sekitar 8-22 derajat celcius). Mungkin karena kawah ini terletak di gunung yang memiliki ketinggian sekitar 2.434m diatas permukaan laut. Bahkan, jika sudah mengetahui keajaiban alamnya, pasti akan mengatakan tak ada kawah yang seindah Kawah Putih. Karena keindahan alamnya, Kawah Putih sering dijadikan tempat Photo prawedding (sangat banyak), syuting film dan sinetron. Bahkan sekarang ini di Bandung dan kota2 sekitarnya juga, jikalau ada yang mau photo prawedding, kawah putih akan selalu menjadi pilihan utama. Keindahan kawah putih memang susah diungkapkan dengan kata2. Datang dan nikmati sendiri dech..Dijamin anda pasti terkagum-kagum. Bahkan ada beberapa artikel tentang kawah putih yang pernah saya baca di internet, mengandaikan keindahan kawah putih itu "Seperti Surga yang tercecer".
Dalam perjalanan menuju kawah, kita akan melewati objek yang menarik seperti rel kereta tua, sawah yang menguning, kebun teh yang hijau dan luas dan hutan pinus. Searah dengan jalur kawah putih anda bisa meneruskan perjalanan ke Situ Patenggang atau berkemah ke Ranca Upas, yang juga merupakan tempat penangkaran rusa, atau berenang di kolam renang airpanas ciwalini. Jalan dari jalan raya Ciwidey hingga ke areal parkir di dekat kawah, memang sedikit rusak, tapi itu tidak menyurutkan niat pengunjung Kawah Putih untuk datang kesana. Dari hari ke hari pengunjungnya terus berjubel dan bertambah banyak. Mungkin karena asik jalan2 tidak terasa sudah malam, jangan takut, disini banyak tersedia penginapan yang bisa anda sewa untuk menginap. Pergi atau pulang dari kawah putih jangan lupa singgah di perkebunan strawberry di kawasan Rancabali. Disana anda bisa memetik sendiri buahnya tuk dibawa pulang.
Written By JatengGayeng on Jumat, 23 Maret 2012 | 23.42
Candi Prambanan ( candi Rorojonggrang ) terletak di Kec. Prambanan, Kab. Klaten, Jawa Tengah.
dibangun abad ke VIII Masehi, pada masa Kerajaan Mataram.
Candi Prambanan merupakan bangunan suci bagi agama Hindhu Siwa.
Di dalam candi Prambanan terdapat 3 Arca :
Arca Siwa Mahaguru
Arca Siwa Mahadewa
Arca Siwa Ganesha.
Candi Prambanan memiliki 3 bangunan utama yaitu :
Candi Siwa
Candi Brahma
Candi Wisnu
Ketiga candi tersebut adalah lambang Trimurti dalam kepercayaan Hindu. Ketiga candi itu menghadap ke timur. Setiap candi utama memiliki satu candi pendamping yang menghadap ke barat, yaitu Nandini untuk Siwa, Angsa untuk Brahma, dan Garuda untuk Wisnu. Selain itu, masih terdapat 2 candi apit, 4 candi kelir, dan 4 candi sudut. Sementara, halaman kedua memiliki 224 candi.
Memasuki candi Siwa yang terletak di tengah dan bangunannya paling tinggi, anda akan menemui 4 buah ruangan. Satu ruangan utama berisi arca Siwa, sementara 3 ruangan yang lain masing-masing berisi arca Durga (istri Siwa), Agastya (guru Siwa), dan Ganesha (putra Siwa). Arca Durga itulah yang disebut-sebut sebagai arca Roro Jonggrang dalam legenda yang diceritakan di atas.
Di Candi Wisnu yang terletak di sebelah utara candi Siwa, anda hanya akan menjumpai satu ruangan yang berisi arca Wisnu. Demikian juga Candi Brahma yang terletak di sebelah selatan Candi Siwa, anda juga hanya akan menemukan satu ruangan berisi arca Brahma.
Candi pendamping yang cukup memikat adalah Candi Garuda yang terletak di dekat Candi Wisnu. Candi ini menyimpan kisah tentang sosok manusia setengah burung yang bernama Garuda. Garuda merupakan burung mistik dalam mitologi Hindu yang bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah, berparuh dan bersayap mirip elang. Diperkirakan, sosok itu adalah adaptasi Hindu atas sosok Bennu (berarti 'terbit' atau 'bersinar', biasa diasosiasikan dengan Dewa Re) dalam mitologi Mesir Kuno atau Phoenix dalam mitologi Yunani Kuno. Garuda bisa menyelamatkan ibunya dari kutukan Aruna (kakak Garuda yang terlahir cacat) dengan mencuri Tirta Amerta (air suci para dewa).
Kemampuan menyelamatkan itu yang dikagumi oleh banyak orang sampai sekarang dan digunakan untuk berbagai kepentingan. Indonesia menggunakannya untuk lambang negara. Konon, pencipta lambang Garuda Pancasila mencari inspirasi di candi ini. Negara lain yang juga menggunakannya untuk lambang negara adalah Thailand, dengan alasan sama tapi adaptasi bentuk dan kenampakan yang berbeda. Di Thailand, Garuda dikenal dengan istilah Krut atau Pha Krut.
Prambanan juga memiliki relief candi yang memuat kisah Ramayana. Menurut para ahli, relief itu mirip dengan cerita Ramayana yang diturunkan lewat tradisi lisan. Relief lain yang menarik adalah pohon Kalpataru yang dalam agama Hindu dianggap sebagai pohon kehidupan, kelestarian dan keserasian lingkungan. Di Prambanan, relief pohon Kalpataru digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon ini membuat para ahli menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 memiliki kearifan dalam mengelola lingkungannya.
Sama seperti sosok Garuda, Kalpataru kini juga digunakan untuk berbagai kepentingan. Di Indonesia, Kalpataru menjadi lambang Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Bahkan, beberapa ilmuwan di Bali mengembangkan konsep Tri Hita Karana untuk pelestarian lingkungan dengan melihat relief Kalpataru di candi ini. Pohon kehidupan itu juga dapat ditemukan pada gunungan yang digunakan untuk membuka kesenian wayang. Sebuah bukti bahwa relief yang ada di Prambanan telah mendunia.
Written By JatengGayeng on Selasa, 13 Maret 2012 | 19.42
Alamat: Desa Hargobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Indonesia
Menikmati pesona alam di ujung utara Yogyakarta. Bersentuhan dengan udara sejuk dan meresapi suasana romantis ala nyonya dan meneer Belanda tempo doeloe di Kaliurang yang terletak di kaki Gunung Merapi.
Pada awal abad ke-19, sejumlah ahli geologi Belanda yang tinggal di Yogyakarta, bermaksud mencari tempat peristirahatan bagi keluarganya. Mereka menyusuri kawasan utara yang merupakan dataran tinggi. Sesampainya di Kaliurang yang berada di ketinggian 900 meter dari permukaan laut, para "meneer" tersebut terpesona dengan keindahan dan kesejukan alam di kaki gunung itu. Mereka akhirnya membangun bungalow-bungalow dan memutuskan kawasan itu sebagai tempat peristirahatan mereka.
Perjalanan menuju kaliurang dari arah Jogja akan mengingatkan kita pada lukisan pemandangan saat masih di taman kanak-kanak. Sebuah gunung dengan jalan di tengahnya serta hamparan hijau yang membentang di kedua sisinya dihiasi dengan rumah penduduk, akan menghilangkan penat dalam bingkai lukisan alam.
Diselimuti angin yang berhembus sejuk, bahkan di saat mentari tepat di atas kepala, kesejukan itu masih terasa. Udara yang menari melewati pepohonan dan turun dengan gemulai, memberi rasa segar ketika menerpa tubuh.
Pemandangan Gunung Merapi memberi sensasi tersendiri di kawasan ini. Bagaikan seorang gadis desa yang menutup tabirnya bila sengaja diperhatikan, gunung ini akan tertutup kabut seolah malu bila sengaja datang untuk melihatnya.
Menyusur sisi barat Bukit Plawangan sejauh 1100 meter, menempuh perjalanan lintas alam, melalui jalan tanah yang diapit pepohonan dan lereng rimbun, deretan 22 gua peninggalan Jepang menjadi salah satu keunikan wisata alam Kaliurang.
Di samping keindahan alamnya, Kaliurang juga mempunyai beberapa bangunan peninggalan sejarah. Diantaranya adalah Wisma Kaliurang dan Pesangrahan Dalem Ngeksigondo milik Kraton yang pernah dipakai sebagai tempat berlangsungnya Komisi Tiga Negara. Atau Museum Ullen Sentalu yang sebagian bangunannya berada di bawah tanah. Museum ini menguak misteri kebudayaan dan nilai-nilai sejarah Jawa, terutama yang berhubungan dengan putri Kraton Yogyakarta dan Surakarta pada abad ke-19.
Kawasan Rekreasi Keluarga.
Berjarak 28 kilometer dari pusat kota Yogyakarta, Kaliurang kini menjadi sebuah kawasan wisata alam dan budaya yang memikat, serta menjadi tempat yang menyenangkan untuk rekreasi keluarga.
Bersantai dengan keluarga, orang tua bisa bersantai sambil mengawasi anak-anak bermain di Taman Rekreasi Kaliurang. Di dalam taman seluas 10.000 meter persegi anak-anak bisa bermain ayunan, perosotan, atau berenang di kolam renang mini. Selain itu di taman yang dihiasi oleh patung jin ala kisah 1001 malam dan beberapa jenis hewan ini, anak-anak juga bisa bermain mini car atau memasuki mulut patung seekor naga yang membentuk lorong kecil dan berakhir di bagian ekornya.
Sekitar 300 meter ke arah timur laut dari taman rekreasi terdapat Taman Wisata Plawangan Turgo. Di kawasan taman wisata ini terdapat kolam renang Tlogo Putri yang airnya berasal dari mata air di lereng Bukit Plawangan. Bermain ayunan atau bercanda bersama keluarga di taman bermain yang berada di dalam taman wisata, rasa lelah akan lebur dalam rimbunnya taman perhutani.
Melangkahkan kaki menyusuri sisi timur, melihat beberapa ekor monyet yang berloncatan dan berayun di dahan, menikmati kicau burung di jalur berbatu susun dan tangga berundak di jalan menanjak sejauh 900 meter; mungkin akan sedikit melelahkan, tetapi pemandangan Gunung Merapi di saat cuaca cerah dari Bukit Pronojiwo, akan menggantikan rasa lelah dengan kekaguman. Pada perjalanan ke puncak Pronojiwo, YogYES sempat adu lari dengan seorang turis asing asal Inggris bernama Nick (47 tahun). Meski memenangkan adu lari, tapi perasaan menyatu dengan suasana alamlah yang paling membahagiakan. Air minum yang dijual oleh wanita penjaja minuman di puncak Pronojiwo bisa melepas rasa dahaga sambil menikmati Merapi yang berdiri tegak di tengah rimbunnya hamparan hijau. Setiap hari libur, Merapi bisa dilihat melalui teropong yang disewakan dengan tarif Rp.3000 selama 30 menit.
Sesampainya kembali di lokasi taman bermain, bersantailah sejenak di Tlogo Muncar. Meredakan letih sambil menikmati air yang terjun di sela-sela bebatuan. Biasanya air akan mengalir dengan deras di musim penghujan.
Jika ingin menikmati pemandangan Kaliurang, para pengunjung bisa berkeliling menggunakan kereta kelinci yang dikenal dengan istilah sepoer. Kendaraan ini biasa mangkal di depan taman wisata yang dipenuhi dengan kios-kios penjaja makanan. Jalur yang dilaluinya mengitari kawasan wisata Kaliurang dari timur ke barat. Melewati gardu pandang yang terletak di sebelah barat, Merapi akan terlihat jelas ketika cuaca cerah. Tarif untuk menaiki kendaraan ini Rp.3.000 per orang jika yang naik minimal tujuh orang. Untuk perjalanan eksklusif, Rp.20.000 akan membuat perjalanan layaknya seorang bangsawan.
Bila ingin merasakan sejuknya angin dan heningnya malam di Kaliurang, berbagai villa, bungalow, pesanggrahan atau pondok wisata bisa menjadi pilihan. Tarifnya juga beragam, mulai dari yang 25 ribuan hingga 200 ribuan. Beberapa penginapan yang bisa anda nikmati, antara lain: Bukit Surya (paling disarankan), Puri Indah Inn (bintang 3), Wisma Sejahtera, dll.
Sebelum pulang pastikan untuk membawa sedikit oleh-oleh yang dijajakan. Mulai dari buah-buahan produksi petani lokal hingga makanan khas yakni tempe dan tahu bacem serta jadah (makanan yang terbuat dari beras ketan dan parutan kelapa).
Hamparan hijau di kaki gunung, udara sejuk dan segala paket kemewahan alamnya, akan meredakan segala kepenatan dan memberikan kesegaran dari hiruk pikuknya perkotaan. (YogYES.COM)
Written By JatengGayeng on Selasa, 06 Maret 2012 | 22.57
Address: Jl. Parangtritis km 28 Yogyakarta 55188, Indonesia
Parangtritis is the best tourist place for enjoying the sunset while having fun conquering sand dune with ATV (All-terrain Vehicle) or walking along the beach with a carriage in the romantic evening. Parangtritis is located 27 km south of Yogyakarta and easily accessible by public transportation that operate up to 17:00pm as well as private vehicles. The afternoon before sunset is the best time to visit this most popular beach in Yogyakarta. But if you arrive sooner, it will not hurt for going up to Tebing Gembirawati (Gembirawati cliffs) behind this beach. From there, we can see the whole area of Parangtritis Beach, southern sea, up to the horizon. Psst, YogYES will tell a secret. Not many people know that on the east side of this clifft, hidden temple ruins. Unlike the other temples located in a mountainous area, Gembirawati Temple is only a few hundred meters from the edge of Parangtritis Beach. To reach this temple, we can pass road uphill near the Hotel Queen of the South and then go down the path to the west for approximately 100 meters. Faintly roar of the ferocious waves of the southern sea could be heard from this temple. Parangtritis Beach is very closely related to the legend of Ratu Kidul (Queen of South). Many Javanese people believe that Parangtritis Beach is the gate of Ratu Kidul’s magical kingdom who controls the southern sea. Hotel Queen of the South is a luxurious resort that is named according to this the legend. Unfortunately the resort is now rarely, whereas it used to have a view that could make us breathless.A Romantic Sunset in Parangtritis When the sun is leaning to the west and the weather is sunny, it is time for having fun. Although visitors are prohibited from swimming, Parangtritis Beach is not lack of the means for having fun. On the beach there is ATVs (All-terrain Vehicle) rental, the tariff is around Rp. 50.000 to 100.000 per half hour. Enter its gear and then release the clutch while pulling the gas. Brrooom, four-wheeled all-terrain motorcycle will be raced bringing you across the sand beach dune.
Well, ATVs may only be suitable for those who are more adventurous. Another option is the carriage. Walking along the sand surface that is smoothly swept by the wave with two-wheeled horse-drawn carriage is no less enjoyable. The carriage will bring us to the end of the east coast of Parangtritis Beach where the cluster of rocks that is so beautiful , so it is often used as the spot of a pre-wedding photo shoot. The dim twilight and golden shade of the sun on the water surface more raise a romantic atmosphere. Parangtritis Beach also offers the excitement for those who travel with family. Kite-flying with your child is also enjoyable. The strong sea breeze is very helpful to make a kite flying high, even if you've never played a kite. Still reluctant for going home even though the sun had set? Soon, some roasted corn sellers will hold a mat on the beach where we can hang out there until late at night. Still do not want to go home? Do not worry, in Parangtritis Beach, there are tens of inns and accommodations available at an affordable price.
Written By JatengGayeng on Senin, 05 Maret 2012 | 19.02
Nama Dieng berasal dari bahasa Sansekerta yaitu "di" yang berarti tempat, dan "hyang" yang berarti dewa pencipta. Secara keseluruhan Dieng dapat diartikan sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Sementara para penduduk sekitar sering mengartikan bahwa Dieng berasal dari kata "edi" yang berarti cantik dalam bahasa Jawa, dan "aeng" yang berarti aneh. Dengan kata lain Dieng adalah sebuah tempat yang cantik namun memiliki banyak keanehan. Terletak pada ketinggian 2000 meter dpl, masyarakat Dieng patut bersyukur atas melimpahnya kekayaan yang dianugerahkan kepada tanah mereka yang cantik dan eksotik ini. Kompleks Candi Arjuna yang merupakan candi hindu tertua di Pulau Jawa masih berdiri dengan tegaknya di tengah deraan waktu dan cuaca, menjadi bukti warisan kekayaan budaya yang luar biasa. Meskipun beberapa bagian candi mulai aus dimakan usia, namun candi pemujaan Dewa Siwa yang dibangun pada tahun 809 M ini tetap kokoh berdiri memberikan nuansa kedamaian di tengah keheningan alam pegunungan. Cuaca dingin yang cukup ekstrim untuk sebuah wilayah yang terletak di daerah tropis telah memunculkan gaya hidup dan gaya berpakaian yang unik dari para penduduknya. Suhu udara pada siang hari berkisar antara 15-20 derajat celcius sementara pada malam hari berkisar antara 10 derajat celcius. Pada bulan Juli dan Agustus suhu bisa mencapai 0 derajat celcius pada siang hari dan -10 derajat celcius pada malam hari. Udara sejuk dan dingin ini benar-benar dimanfaatkan oleh penduduk untuk memaksimalkan usaha pertanian mereka. Lahan yang berlimpah mereka ubah menjadi ladang untuk menanam aneka sayur dan buah-buahan. Komoditas utama mereka adalah kentang dan kubis. Carica, pepaya Dieng, disulap menjadi makanan lezat yang selalu diburu sebagai oleh-oleh khas Dieng. Purwaceng, salah satu jenis rumput yang tumbuh liar, diolah menjadi minuman khas Dieng yang berkhasiat untuk menambah kejantanan pria. Berbicara tentang kuliner, makanan khas Dieng lainnya yang wajib dicoba adalah tempe kemul yang lezat dan mie ongklok Wonosobo yang telah melegenda. Sesungguhnya Dieng adalah wilayah vulkanik aktif dan dapat dikatakan sebagai gunung api raksasa. Datarannya terbentuk dari kawah gunung berapi yang telah mati. Bentuk kawah ini terlihat jelas dari dataran yang dikelilingi oleh gugusan pegunungan disekitarnya. Namun meskipun gunung api ini telah berabad-abad mati, beberapa kawah vulkanik masih aktif hingga sekarang. Di antaranya adalah Kawah Sikidang, yang selalu berpindah-pindah tempat dan meloncat-loncat seperti "kidang" atau kijang. Keunikan proses terbentuknya menghasilkan bentang alam yang eksotik dan tidak ada duanya. Telaga Warna yang memantulkan warna hijau, biru dan ungu serta pesona keindahan matahari terbit dari puncak Gunung Sikunir adalah tempat-tempat yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.
Keteb Pass merupakan objek wisata yang terletak di daerah Magelang. Jaraknya kurang lebih 50 km dari kota Jogja dan bisa ditempuh dalam waktu 1-1,5 jam menggunakan kendaraan bermotor. Jika kita menuju ke Keteb kita akan melewati jalanan yang sedikit berliku dan naik-turun, jadi sebaiknya kondisi kendaraan harus benar-benar fit. Jangan lupa juga untuk membawa jas hujan jika menggunakan motor, karena cuaca disini juga sering berubah-ubah dengan udara yang dingin sekali jika hujan tiba . Sesampainya di Keteb kita akan disuguhi pemandangan yang luar biasa. Jika cuaca sedang bagus dari kejauhan kita bisa melihat beberapa gunung, antara lain Merapi, Merbabu, Sindoro, dan Sumbing. Gunung yang terdekat dan dapat dilihat dengan jelas tentu saja Gunung Merapi. Jika ingin melihat pemandangan Gunung Merapi lebih dekat lagi kita bisa menyewa teropong yang banyak disewakan di area Keteb Pass ini.
Sesampainya di Keteb kita akan disuguhi pemandangan yang luar biasa. Jika cuaca sedang bagus dari kejauhan kita bisa melihat beberapa gunung, antara lain Merapi, Merbabu, Sindoro, dan Sumbing. Gunung yang terdekat dan dapat dilihat dengan jelas tentu saja Gunung Merapi. Jika ingin melihat pemandangan Gunung Merapi lebih dekat lagi kita bisa menyewa teropong yang banyak disewakan di area Keteb Pass ini.
Tidak hanya pemandangan yang menakjubkan saja yang bisa kita nikmati, disini juga terdapat Museum Gunung Merapi. Di museum kita bisa melihat foto-foto ledakan Gunung Merapi dan sejarah tentang Merapi di masa lalu. Selain museum, di Keteb Pass juga terdapat Keteb Volcano Theater yang memutar film dokumenter tentang meletusnya Gunung Merapi. Durasi filmnya tidak terlalu lama, hanya sekitar 20 menit saja.
Jika sudah lelah kita bisa berisitirahat di tempat-tempat yang banyak disediakan. Sambil bersantai dan menikmati pemandangan, kita dapat memesan jagung bakar ataupun minuman hangat yang banyak disediakan oleh warung-warung yang ada di dalam lokasi wisata.
It is popular for American tourists. The place is more secluded and have private beaches. It is also popular for tourists from Europe.
2. Ubud High up in the mountain. Famous for being filmned in Julia Robert movie. Eat , Pray and Love. Great place to visit ief enjoy mountain views, traditional villages and fresh nature.
3. Jimbaran Another favourite tourists destination. It is a great place to dine in (Seafood) and listen to latin songs. A recommended hotel is Richtz Carton, popular among Japanese tourists
4. Kuta It is the most favourite place to visit for holiday for Australians. Great beaches with plenty of bars/clubs to enjoy your holiday.
Borobudur, is a 9th century Mahayana Buddhist monument near Magelang, Central Java, Indonesia. The monument comprises six square platforms topped by three circular platforms, and is decorated with 2,672 relief panels and 504 Buddha statues. A main dome, located at the center of the top platform, is surrounded by 72 Buddha statues seated inside perforated stupa.
The monument is both a shrine to the Lord Buddha and a place for Buddhist pilgrimage. The journey for pilgrims begins at the base of the monument and follows a path circumambulating the monument while ascending to the top through the three levels of Buddhist cosmology, namely Kāmadhātu (the world of desire), Rupadhatu (the world of forms) and Arupadhatu (the world of formlessness). During the journey, the monument guides the pilgrims through a system of stairways and corridors with 1,460 narrative relief panels on the walls and the balustrades.
Evidence suggests Borobudur was abandoned following the 14th-century decline of Buddhist and Hindu kingdoms in Java, and the Javanese conversion to Islam. Worldwide knowledge of its existence was sparked in 1814 by Sir Thomas Stamford Raffles, then the British ruler of Java, who was advised of its location by native Indonesians. Borobudur has since been preserved through several restorations. The largest restoration project was undertaken between 1975 and 1982 by the Indonesian government and UNESCO, following which the monument was listed as a UNESCO World Heritage Site. Borobudur is still used for pilgrimage; once a year Buddhists in Indonesia celebrate Vesak at the monument, and Borobudur is Indonesia's single most visited tourist attraction.
Construction.There is no written record of who built Borobudur or of its intended purpose. The construction time has been estimated by comparison between carved reliefs on the temple's hidden foot and the inscriptions commonly used in royal charters during the 8th and 9th centuries. Borobudur was likely founded around 800 CE. This corresponds to the period between 760 and 830 CE, the peak of the Sailendra dynasty in central Java, when it was under the influence of the Srivijayan Empire. The construction has been estimated to have taken 75 years and been completed during the reign of Samaratungga in 825.There is confusion between Hindu and Buddhist rulers in Java around that time. The Sailendras were known as ardent followers of Buddhism, though stone inscriptions found at Sojomerto suggest they may have been Hindus.It was during this time that many Hindu and Buddhist monuments were built on the plains and mountains around the Kedu Plain. The Buddhist monuments, including Borobudur, were erected around the same time as the Hindu Shiva Prambanan temple compound. In 732 CE, the Shivaite King Sanjaya commissioned a Shivalingasanctuary to be built on the Wukir hill, only 10 km (6.2 mi) east of Borobudur.Construction of Buddhist temples, including Borobudur, at that time was possible because Sanjaya's immediate successor, Rakai Panangkaran, granted his permission to the Buddhist followers to build such temples. In fact, to show his respect, Panangkaran gave the village of Kalasan to the Buddhist community, as is written in the Kalasan Charter dated 778 CE. This has led some archaeologists to believe that there was never serious conflict concerning religion in Java as it was possible for a Hindu king to patronize the establishment of a Buddhist monument; or for a Buddhist king to act likewise. However, it is likely that there were two rival royal dynasties in Java at the time—the Buddhist Sailendra and the Saivite Sanjaya—in which the latter triumphed over their rival in the 856 battle on the Ratubaka plateau. This confusion also exists regarding the Lara Jonggrang temple at the Prambanan complex, which was believed that it was erected by the victor Rakai Pikatan as the Sanjaya dynasty's reply to Borobudur, but others suggest that there was a climate of peaceful coexistence where Sailendra involvement exists in Lara Jonggrang.Location.Approximately 40 kilometres (25 mil) northwest of Yogyakarta, Borobudur is located in an elevated area between two twin volcanoes, Sundoro-Sumbing and Merbabu-Merapi, and two rivers, the Progo and the Elo. According to local myth, the area known as Kedu Plain is a Javanese 'sacred' place and has been dubbed 'the garden of Java' due to its high agricultural fertility. During the restoration in the early 20th century, it was discovered that three Buddhist temples in the region, Borobudur, Pawon and Mendut, are positioned along a straight line. The ritual relationship between the three temples must have existed, although exact ritual process is yet unknown.
Komodo is one of the 17,508 islands that make up the Republic of Indonesia. The island has a surface area of 390 km² and over 2000 inhabitants. The inhabitants of the island are descendants of former convicts who were exiled to the island and who have mixed themselves with the Bugis from Sulawesi. The population are primarily adherents of Islam but there are also Christian and Hindu minorities.
Komodo is part of the Lesser Sunda chain of islands and forms part of the Komodo National Park. Particularly notable here is the native Komodo dragon. In addition, the island is a popular destination for diving. Administratively, it is part of the East Nusa Tenggara province.
History
The earliest stories of a dragon existing in the region circulated widely and attracted considerable attention. But no one visited the island to check the story until official interest was sparked in the early 1910s by stories from Dutch sailors based in Flores about a mysterious creature. The creature was allegedly a "dragon" which inhabited a small island in the Lesser Sunda Islands (the main island of which is Flores in East Nusa Tenggara).
The Dutch sailors reported that the creature measured up to seven meters in length with a large body and mouth which constantly spat fire. Hearing the reports, Lieutenant Steyn van Hensbroek, an official of the Dutch Colonial Administration in Flores, planned a trip to Komodo Island. He armed himself, and accompanied by a team of soldiers he landed on the island. After a few days, Hensbroek managed to kill one of the strange animals.
Van Hensbroek took the animal to headquarters where measurements were taken. It was approximately 2.1 meters long, with a shape very similar to that of a lizard. More samples were then photographed by Peter A. Ouwens, the Director of the Zoological Museum and Botanical Gardens in Bogor, Java. The records that Ouwens made are the first reliable documentation of details about what is now called the Komodo dragon or Komodo monitor.
Ouwens was keen to obtain additional samples. He recruited hunters who killed two dragons measuring 3.1 meters and 3.35 meters as well as capturing two pups, each measuring less than one meter. Ouwens carried out studies on the samples and concluded that the komodo dragon was not a flamethrower but was a type of monitor lizard monitor lizard. Research results were published in 1912. Ouwens named the giant lizard Varanus komodoensis, more commonly known as a Komodo Dragon. Realizing the significance of the dragons on Komodo Island as an endangered species, the Dutch government issued a regulation on the protection of Komodos on Komodo Island in 1915.
The komodo dragon became something of a living legend In the decades since the Komodo was discovered, various scientific expeditions from a range of countries have carried out field research on the dragons on Komodo Island.
Komodo has been included into the controversial New7Wonders of Nature list since November 11, 2011.
Mount Merapi, Gunung Merapi (literally Fire Mountain in Indonesian/Javanese), is an active stratovolcano located on the border between Central Java and Yogyakarta, Indonesia. It is the most active volcano in Indonesia and has erupted regularly since 1548. It is located approximately 28 kilometres (17 mi) north of Yogyakarta city, and thousands of people live on the flanks of the volcano, with villages as high as 1,700 metres (5,600 ft) above sea level.
The name Merapi could be loosely translated as 'Mountain of Fire'. The etymology of the name came from Meru-Api; from theJavanese combined words; Meru means "mountain" refer to mythical mountain of Gods in Hinduism, and api means "fire". Smoke can be seen emerging from the mountaintop at least 300 days a year, and several eruptions have caused fatalities. Hot gas from a large explosion killed 27 people on 22 November in 1994, mostly in the town of Muntilan, west of the volcano. Another large eruption occurred in 2006, shortly before the Yogyakarta earthquake. In light of the hazards that Merapi poses to populated areas, it has been designated as one of the Decade Volcanoes.
On 25 October 2010 the Indonesian government raised the alert for Mount Merapi to its highest level and warned villagers in threatened areas to move to safer ground. People living within a 20 km (12 mi) zone were told to evacuate. Officials said about 500 volcanic earthquakes had been recorded on the mountain over the weekend of 23–24 October, and that the magma had risen to about 1 kilometre (3,300 ft) below the surface due to the seismic activity. On the afternoon of 25 October 2010 Mount Merapi erupted lava from its southern and southeastern slopes.
The mountain was still erupting on 30 November 2010 however due to lowered eruptive activity on 3 December 2010 the official alert status was reduced to level 3. The volcano is now 2930 metres high, 38 metres lower than before the 2010 eruptions.
Creation.
Although most nearby villages have their own myths about the creation of Mount Merapi, they have numerous commonalities. It is believed that when the gods had just created the Earth, Java was unbalanced because of the placement of Mount Jamurdipo on the west end of the island. In order to assure balance, the gods (generally represented by Batara Guru) ordered the mountain to be moved to the centre of Java. However, two armourers, Empu Rama and Empu Permadi, were already forging a sacred keris at the site where Mount Jamurdipo was to be moved. The gods warned them that they would be moving a mountain there, and that they should leave; Empu Rama and Empu Permadi ignored that warning. In anger, the gods buried Empu Rama and Empu Permadi under Mount Jamurdipo; their spirits later became the rulers of all mystical beings in the area. In memory of them, Mount Jamurdipo was later renamed Mount Merapi, which means "fire of Rama and Permadi.
Spirit Kraton of Merapi.
The Javanese believe that the Earth is not only populated by human beings, but also by spirits (makhluk halus). Villages near Merapi believe that one of the palaces (in Javanese kraton) used by the rulers of the spirit kingdom lies inside Merapi, ruled by Empu Rama and Empu Permadi. This palace is said to be a spiritual counterpart to the Yogyakarta Sultanate, complete with roads, soldiers, princes, vehicles, and domesticated animals. Besides the rulers, the palace is said to also be populated by the spirits of ancestors who died as righteous people. The spirits of these ancestors are said to live in the palace as royal servants (abdi dalem), occasionally visiting their descendants in dreams to give prophecies or warnings.
Spirits of Merapi.
To keep the volcano quiet and to appease the spirits of the mountain, the Javanese regularly bring offerings on the anniversary of the sultan of Yogyakarta's coronation. For Yogyakarta Sultanate, Merapi holds significant cosmological symbolism, because it is forming a sacred north-south axis line between Merapi peak and Southern Ocean (Indian Ocean). The sacred axis is signified by Merapi peak in the north, the Tugu monument near Yogyakarta main train station, the axis runs along Malioboro street to Northern Alun-alun (square) across KeratonYogyakarta (sultan palace), Southern Alun-alun, all the way to Bantul and finally reach Samas and Parangkusumo beach on the estuary of Opak river and Southern Ocean. This sacred axis connected the hyangs or spirits of mountain revered since ancient times—often identified as "Mbah Petruk" by Javanese people—The Sultan of Yogyakarta as the leader of the Javanese kingdom, and Nyi Roro Kidul as the queen of the Southern Ocean, the female ocean deity revered by Javanese people and also mythical consort of Javanese kings.Merapi is the youngest in a group of volcanoes in southern Java. It is situated at a subduction zone, where the Indo-Australian Plate is subducting under the Eurasian Plate. It is one of at least 129 active volcanoes in Indonesia, part of the volcano is located in the Southeastern part of the Pacific Ring of Fire–a section of fault lines stretching from the Western Hemisphere through Japan and South East Asia. Stratigraphic analysis reveals that eruptions in the Merapi area began about 400,000 years ago, and from then until about 10,000 years ago, eruptions were typically effusive, and the out flowing lava emitted was basaltic. Since then, eruptions have become more explosive, with viscous andesitic lavas often generating lava domes. Dome collapse has often generated pyroclastic flows, and larger explosions, which have resulted in eruption columns, have also generated pyroclastic flows through column collapse.
Typically, small eruptions occur every two to three years, and larger ones every 10–15 years or so. Notable eruptions, often causing many deaths, have occurred in 1006, 1786, 1822, 1872, and 1930—when thirteen villages were destroyed and 1400 people killed by pyroclastic flows.
A very large eruption in 1006 is claimed to have covered all of central Java with ash. The volcanic devastation is claimed to have led to the collapse of the Hindu Kingdom of Mataram; however, there is insufficient evidence from that era for this to be substantiated.
2006 eruption. Pyroclastic flows (2006) In April 2006, increased seismicity at more regular intervals and a detected bulge in the volcano's cone indicated that fresh eruptions were imminent. Authorities put the volcano's neighboring villages on high alert and local residents prepared for a likely evacuation. On 19 April smoke from the crater reached a height of 400 metres (1,300 ft), compared to 75 metres (246 ft) the previous day. On 23 April, after nine surface tremors and some 156 multifaced quakes signalled movements of magma, some 600 elderly and infant residents of the slopes were evacuated.
By early May, active lava flows had begun. On 11 May, with lava flow beginning to be constant, some 17,000 people were ordered to be evacuated from the area and on 13 May, Indonesian authorities raised the alert status to the highest level, ordering the immediate evacuation of all residents on the mountain. Many villagers defied the dangers posed by the volcano and returned to their villages, fearing that their livestock and crops would be vulnerable to theft. Activity calmed by the middle of May.
On 27 May, a 6.3 magnitude earthquake struck roughly 50 km (31 mil) southwest of Merapi, killing at least 5,000 and leaving at least 200,000 people homeless in the Yogyakarta region, heightening fears that Merapi would "blow". The quake did not appear to be a long-period oscillation, a seismic disturbance class that is increasingly associated with major volcanic eruptions. A further 11,000 villagers were evacuated on 6 June as lava and superheated clouds of gas poured repeatedly down its upper slopes towards Kaliadem, a location that was located southeast of Mt. Merapi. The pyroclastic flows are known locally as "wedhus gembel" (Javanese for "shaggy goat"). There were two fatalities as the result of the eruption.
2010 eruption.Main article: 2010 eruptions of Mount MerapiDestroyed house in Cangkringan Village after the eruptionsIn late October 2010 the Center for Volcanology and Geological Hazard Mitigation, Geological Agency (CVGHM), (Indonesian language—Pusat Vulkanologi & Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi-PVMBG), reported that a pattern of increasing seismicity from Merapi had begun to emerge in early September.
Observers at Babadan 7 kilometres (4.3 mi) west and Kaliurang 8 kilometres (5.0 mi) south of the mountain reported hearing an avalanche on 12 September 2010. On 13 September 2010 white plumes were observed rising 800 metres (2,600 ft) above the crater. Lava dome inflation, detected since March, increased from background levels of 0.1 millimetres (0.0039 in) to 0.3 millimetres (0.012 in) per day to a rate of 11 millimetres (0.43 in) per day on 16 September. On 19 September 2010 earthquakes continued to be numerous, and the next day CVGHM raised the Alert Level to 2 (on a scale of 1–4). Lava from Mount Merapi in Central Java began flowing down the Gendol River on 23–24 October signalling the likelihood of an imminent eruption.
On 25 October 2010 the Indonesian government raised the alert for Mount Merapi to its highest level (4) and warned villagers in threatened areas to move to safer ground. People living within a 10 kilometres (6.2 mi) zone were told to evacuate. The evacuation orders affected at least 19,000 people; however, the number that complied at the time remained unclear to authorities. Officials said about 500 volcanic earthquakes had been recorded on the mountain over the weekend of 23–24 October, and that the magma had risen to about 1 kilometre (3,300 ft) below the surface due to the seismic activity.
After a period of multiple eruptions considered to exceed the intensity and duration of those in 1872 on 10 November 2010 the intensity and frequency of eruptions was noticed to subside. By this time 153 people had been reported to have been killed and 320,000 were displaced. Later the eruptive activities again increased requiring a continuation of the Level 4 alert and continued provision of exclusion zones around the volcano. By 18 November the death toll had increased to 275. The toll had risen to 324 by 24 November and Syamsul Maarif, head of the National Disaster Mitigation Agency (BNPB) explained that the death toll had risen after a number of victims succumbed to severe burns and more bodies were found on the volcano’s slopes.
In the aftermath of the more intensive eruptive activities in late November Yogyakarta’s Disaster Management Agency reported that there were about 500 reported cases of eruption survivors in Sleman district suffering from minor to severe psychological problems, and about 300 cases in Magelang. By 3 December the death toll had risen to 353.
On Friday 3 December 2010 the head of the National Disaster Management Agency (BNPB), Dr. Syamsul Maarif, M. Si, accompanied by the head of the Centre for Volcanology and Geological Hazard Mitigation CVGHM (PVMBG), Dr. Surono made a joint press release at the BNPB Command Post in Yogyakarta. As of 3 December 2010, at 09.00 am, the CVGHM (PVMBG) lowered the status of Mount Merapi to the level of "Caution Alert (Level III). They clarified that with this alert level the potential of hot ash clouds and projected incandescent material remained. The Geological Agency provided several recommendations including that there would be no community activities in the disaster prone areas and proclaimed an ongoing exclusion zone of 2.5 kilometres (1.6 mi) radius
Sterile zone
Followed 2010 eruption, 3 ministry has signed 'Sterile zone' which nobody can permanently stay and no infrastructure allowed in 9 villages (dusun): Palemsari, Pangukrejo, Kaliadem, Jambu, Kopeng, Petung, Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul and Srunen, all in Cangkringan district
National park
In 2004 an area of 6,410 hectares around Mount Merapi was established as a national park. The decision of the Ministry of Forestry to declare the park has been subsequently challenged in court by The Indonesian Forum for Environment, on grounds of lack of consultation with local residents. During the 2006 eruption of the volcano it was reported that many residents were reluctant to leave because they feared their residences would be confiscated for expanding the national park.
Museum
Merapi Museum Center, Kaliurang Street Kilometer 25.7, Pakem subdistrict, Sleman, Yogyakarta. Replica of Merapi's Post 2010 Eruption has been done and student's visit to the museum had increased 30 percent since the latest eruption.
Lombok island is located east of Bali and accessible by air, fast boat or public ferry.
The simple pleasure of sunshine, white sandy beaches in quieter settings,unique culture, and eco tours makes Lombok a perfect getaway for honeymooners, families or those who look for a total relaxing holiday.
History.
Little is known about the Lombok before the seventeenth century. Before this time it was made up of numerous competing and feuding petty states each of which were presided over by a Sasak 'prince'. This disunity was taken advantage of by the neighbouring Balinese who took control of western Lombok in the early seventeenth century. The Makassarese meanwhile invaded eastern Lombok from their colonies in neighbouring Sumbawa. The Dutch had first visited Lombok in 1674 and the Dutch East India Company concluded its first treaty with the Sasak Princess of Lombok. The Balinese had managed to take over the whole island by 1750, but Balinese infighting resulted in the island being split into four feuding Balinese kingdoms. In 1838, the Mataram kingdom brought its rivals under control.
Relations between the Sasak and Balinese in western Lombok were largely harmonious and intermarriage was common. In the island's east, however, relations were less cordial and the Balinese maintained control from garrisoned forts. While Sasak village government remained in place, the village head became little more than a tax collector for the Balinese. Villagers became a kind of serf and Sasak aristocracy lost much of its power and land holdings.
During one of the many Sasak peasant rebellions against the Balinese, Sasak chiefs sent envoys to the Dutch in Bali and invited them to rule Lombok. In June 1894, the governor general of the Dutch East Indies, Van der Wijck, signed a treaty with Sasak rebels in eastern Lombok. He sent a large army to Lombok and the Balinese raja capitulated to Dutch demands.(see Dutch intervention in Lombok) The younger princes however overruled the raja and attacked and routed the Dutch. The Dutch counterattacked overrunning Mataram and the raja surrendered. The entire island was annexed to the Netherlands East Indies in 1895. The Dutch ruled over Lombok's 500,000 people with a force of no more than 250 by cultivating the support of the Balinese and Sasak aristocracy. While the period was one of deprivation for the Sasak, they Dutch are remembered as liberators from Balinese hegemony.
During World War II a Japanese invasion force comprising elements of the 2nd Southern Expeditionary Fleet invaded and occupied the Lesser Sunda Islands, including the island of Lombok. They sailed from Soerabaja harbour at 09:00 hrs on 8 March 1942 and proceeded towards Lombok Island. On 9 May 1942 at 17:00 hrs the fleet sailed into port of Ampenan on Lombok Island. The Dutch defenders were soon defeated and the island occupied.
Following the cessation of hostilities the Japanese forces occupying Indonesia were withdrawn and Lombok returned temporarily to Dutch control. Following the subsequent Indonesian independence from the Dutch, the Balinese and Sasak aristocracy continued to dominate Lombok. In 1958, the island was incorporated into the province of West Nusa Tenggara with Mataram becoming the provincial capital. Mass killings of communists occurred across the island following the abortive coup attempt in Jakarta and Central Java. During President Suharto's New Order administration, Lombok experienced a degree of stability and development but not to the extent of the boom and wealth in Java and Bali. Crop failures led to famine in 1966 and food shortages in 1973. The national government's transmigrasi program moved a lot of people out of Lombok. The 1980s saw external developers and speculators instigate a nascent tourism boom although local's share of earnings was limited. Indonesia's political and economic crises of the late 1990s hit Lombok hard. In January 2000, riots broke out across Mataram with Christians and ethnic Chinese the main victims, with alleged agents provocateur from outside Lombok. Tourism slumped, but in recent years has seen a renewed growth.
Geography.
The Lombok Strait lies to the immediate west of the island and this waterway marks the passage of the biogeographical division between the fauna of the Indomalayan ecozone and the distinctly different fauna of Australasia that is known as the Wallace Line, for Alfred Russel Wallace, who first remarked upon the distinction between these two major biogeographical regions and how abrupt the boundary was between the two biomes.
To the east of Lombok lies the Alas Strait, a narrow body of water separating the island of Lombok from the nearby island of Sumbawa to the east. The island's topography is dominated by the centrally-located stratovolcano Mount Rinjani, which rises to 3,726 m (12,224 ft), making the second highest volcano in Indonesia and the nation's third-highest mountain. The most recent eruption of Rinjani was in May, 2010 at Gunung Barujari. Ash was reported as rising up to two km into the atmosphere from the Barujari cone in Rinjani's caldera lake of Segara Anak. Lavaflowed into the caldera lake, pushing its temperature up and crops on the slopes of Rinjani were damaged by ash fall. The volcano, and its crater lake, 'Segara Anak' (child of the sea), are protected by the Gunung Rinjani National Park established in 1997.
The highlands of Lombok are forest clad and mostly undeveloped. The lowlands are highly cultivated. Rice, soybeans, coffee, tobacco, cotton, cinnamon, cacao, cloves, cassava, corn,coconuts, copra, bananas and vanilla are the major crops grown in the fertile soils of the island. The southern part of the island is fertile but drier, especially toward the southern coastline.
The water supply in Lombok is stressed and this places strain upon both the water supply of the provincial capital, Mataram, and the island in general. The southern and central areas are reported to be the most critically affected. West Nusa Tenggara province in general is threatened with a water crisis caused by increasing forest and water table damage and degradation. 160 thousand hectares of a total of 1960 thousand hectares are thought to have been affected. The Head of Built Environment and Security Forest Service Forest West Nusa Tenggara Andi Pramari stated in Mataram on Wednesday, May 6, 2009 that, "If this situation is not addressed it can be expected that within five years it may be difficult for people to obtain water in this part of NTB (West Nusa Tenggara). Not only that, the productivity of agriculture in value added will fall, and the residents are experiencing water deficiency in their wells". High cases of timber theft in the region of NTB are contributing to this problem. In September 2010, Central Lombok some villagers were reported to be walking for several hours to fetch a single pail of water. Nieleando, a small coastal village about 50 kilometers from the provincial capital, Mataram, has seen dry wells for years. It has been reported that occasionally the problem escalates sufficiently for disputes and fighting between villagers to occur. The problems have been reported to be most pronounced in the sub-districts of Jonggat, Janapria, Praya Timur, Praya Barat, Praya Barat Daya and Pujut. In 2010 all six sub-districts were declared drought areas by provincial authorities. Sumbawa, the other main island of the province, also experienced severe drought in 10, making it a proce-wide issue. of the province, also experienced severe drought in 10, making it a proce-wide issue.